(Jakarta, 6 Juni 2009. Mengacu dari sejumlah pemberitaan yang sangat intensif tentang kasus yang menimpa Ibu Prita dan juga dalam pembicaraan serta dialog pada berbagai kesempatan yang topiknya tentang masalah kasus tersebut, sempat muncul beberapa kecemasan, trauma dan ketakutan sebagian warga masyarakat yang merasa khawatir, bahwa dengan adanya kasus Ibu Prita dan berbagai kasus sebelumnya, maka mereka menganggap, bahwa berkomunikasi secara elektronik kini berpotensi mudah dijerat secara hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui Siaran Pers ini, Departemen Kominfo menyampaikan tanggapan resminya sebagai berikut:
- Departemen Kominfo menyampaikan sikap simpati yang mendalam atas musibah yang diderita oleh Ibu Prita.
- Memang benar, bahwa Pasal 27 ayat (3) U U No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan secara lengkap sebagai berikut: “ Setiap o rang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik .” Pasal tersebut memuat unsur “dengan sengaja ” dan “ tanpa hak ”. Unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal ini.
- Pada sisi lain, perbuatan Ibu Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap suatu layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang konsumen untuk menyampaikan pendapat dan keluhan yang dialaminya atas jasa yang diberikan oleh suatu layanan publik dan hal ini adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam U U No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , khususnya Pasal 4 huruf d yang berbunyi “ Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ” Oleh karena itu, unsur “tanpa hak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini. Dengan kata lain, tindakan Ibu Prita bukan merupakan penghinaan kecuali jika ternyata dalam pembuktian di persidangan ditemukan motif lain yang beritikad tidak baik .
- Selain telah diaturnya unsur “tanpa hak” sebagai perlindungan terhadap o rang yang berhak, pada dasarnya UU ITE juga telah memberikan perlindungan lain dengan meminimalisir abuse of power dalam melakukan penangkapan dan penahanan, sebagaimana termuat dalam Pasal 43 ayat (6) UU ITE yang menyebutkan : “ Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.” Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa tiga institusi penegak hukum: (i) kepolisian, (ii) kejaksaan, dan (iii) pengadilan wajib melakukan koordinasi mengenai perlunya atau dasar dilakukannya penahanan. Adanya koordinasi ini ditujukan untuk mencegah abuse of power oleh aparat penegak hukum .
- Selain itu, Pasal 53 UU ITE menyebutkan secara lengkap: “ Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Tehnologi Informasi yang tidak bertentangan dengan undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku ”. Dalam konteks ini, salah satu peraturan perundang-undangan yang dapat dimaksud adalah UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dimana pada Pasal 40 disebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun ”. Pasal ini perlu dijelaskan untuk meniadakan kecemasan pengguna telekomunikasi atau media komunikasi elektronik apapun, bahwa komunikasi elektronik apapun yang masyarakat lakukan, misalnya dengan menggunakan email ataupun layanan SMS, tetap dapat dilakukan secara leluasa dan tidak perlu ada kekhawatiran untuk diambil substansi isinya ataupun disadap oleh pihak lain yang merasa tidak convenient.
- Oleh karenanya tidak mudah bagi seseorang atau sekelompok orang atau suatu institusi untuk mengadukan pihak lain sebagai akibat adanya isi dari suatu komunikasi elektronik sejauh tidak ada pihak lain yang mempublikasikan isi dari suatu komunikasi elektronik tersebut, karena persyaratan untuk merekam informasi atau isi dari suatu komunikasi dalam layanan telekomunikasi atau komunikasi elektronik sangat ketat, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yang menyatakan: “Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku ”.
- Khusus mengenai pemberlakuan UU ITE juga perlu diluruskan karena adanya keragaman pendapat. Pasal 54 ayat (1) UU ITE menyatakan: “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Di dalam keterangan UU ITE disebutkan, bahwa UU ITE disahkan pada tanggal 21 April 2008 dan kemudian disebutkan juga, bahwa UU ITE diundangkan pada tanggal 21 April 2008 juga. Sedangkan yang harus sudah ditetapkan paling lambat tanggal 21 April 2010 adalah Peraturan Pemerintah, sebagaimana disebutkan pada Pasal 54 ayat (2) yang di antaranya menyatakan: “Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini”. Ini berbeda dengan UU Telekomunikasi yang baru baru berlaku 1 tahun berikutnya sejak disahkan dan diundangkannya UU tersebut yaitu tanggal 8 September 1999, sebagaimana di antaranya dinyatakan pada Pasal 64 UU Telekomunikasi: “Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dan berbeda pula dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang baru akan berlaku pada tanggal 30 April 2010, yaitu terhitung 2 tahun sejak diundangkan dimana UU KIP tersebut disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008. Ketentuan lengkap yang mengatur pemberlakuan UU KIP tersebut dinyatakan pada Pasal 64 ayat (1) yang menyebutkan: “Undang-Undang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan”.
- Sejak berlakunya UU ITE Departemen Kominfo telah melakukan sosialisasi secara intensif kepada para penegak hukum dan masyarakat mengingat peraturan perundang-undangan ini memiliki domain baru yang sifatnya sangat virtual dan sosialisasi tersebut akan terus dilakukan dan ditingkatkan. Di samping itu kepada warga masyarakat juga diberikan hak dan kesempatan untuk mengevaluasi, mencermati dan mengkritisi UU tersebut pasal demi pasal sekiranya terdapat substansi yang bertentangan dengan UUD 1945. Kesempatan tersebut telah dimanfaatkan oleh beberapa warga masyarakat untuk mengajukan peninjauan kembali (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 27 UU tersebut, namun kemudian dalam keputusannya pada tanggal 5 Mei 2009 Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan tersebut.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009 tanggal 5 Mei 2009, menyebutkan, bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Beberapa dasar pertimbangan lain dari Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang perlu diperhatikan adalah:
- Bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
- Bahwa masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) , Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) .
- Berdasarkan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum internasional. Dengan demikian, apabila hukum pidana memberikan sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi.
- Bahwa rumusan KUHP dinilai belum cukup karena unsur “di muka umum” sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP kurang memadai sehingga perlu rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya”. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah memberikan perlindungan dengan mengatur unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” unsur tanpa hak merupakan perumusan unsur sifat melawan hukum.
- Bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
- Meskipun setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tetapi ketentuan konstitusi (Pasal 28 G UUD 1945 dan Pasal 28 J UUD 1945) menegaskan dan menjamin bahwa dalam menjalankan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak boleh melanggar hak-hak orang lain untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya.
Dengan demikian, tidak perlu dan tidak ada alasan sedikitpun bagi masyarakat untuk merasa cemas, trauma dan takut menggunakan layanan telekomunikasi dan dalam berkomunikasi secara elektronik bagi kepentingan aktivitas masing-masing masyarakat. Himbauan Departemen Kominfo ini perlu disampaikan agar supaya tidak ada keragu-raguan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka seperti yang sering disampaikan dalam rubrik keluhan pembaca atau “Redaksi Yth ” di berbagai media massa, mengingat kecenderungan saat ini surat keluhan lebih banyak dikirimkan melalui sarana email dibandingkan dikirimkan melalui layanan pos atau jasa kurir swasta lainnya. Himbauan ini perlu disampaikan secara terbuka untuk mengurangi kecemasan masyarakat, karena aturan hukum yang mengatur kebebasan individu atau sekelompok orang atau institusi untuk memperoleh privasi dalam berkomunikasi secara elektronik sangat kuat dan ketat rambu-rambunya. Bahwasanya kemudian timbul masalkah hukum akibat isi dari komunikasi elektronik tersebut yang kemudian dibuka untuk konsumsi umum dan menimbulkan respon resistensi atau kebewratan dari pihak lain, maka hal tersebut adalah persoalan lain yang tidak langsung disebabkan oleh UU ITE tersebut.
—————
Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP: 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id; Tel/Fax: 021.3504024).
No comments:
Post a Comment