..

..

Whois Online?

Monday, July 30, 2018

Sungai Item dan problem pencemaran sungai di Jakarta yang belum pernah terselesaikan ...

Kondisi Sungai Item di Jakarta (Sumber: Kompas.Com)

Ada anekdot bahwa untuk dapat mengukur tingkat kesadaran kebersihan sebuah keluarga, cukup  anda lihat kebersihan toiletnya. Kalau kondisi toiletnya selalu bersih berarti keluarga tersebut mempunyai kesadaran akan kebersihan yang sangat tinggi, tetapi sebaliknya kalau seandainya kondisi toiletnya jorok, maka keluarga itu adalah keluarga yang mempunyai kesadaran kebersihan yang rendah.  Anekdot ini bisa digunakan untuk memotret keadaan kota, jika kota tersebut bersih dan sungainya airnya jernih, maka dapat dipastikan bahwa seluruh penghuni kota tersebut mempunyai kesadaran akan kebersihan yang tinggi, tetapi jika kotanya kotor dan air sungainya berwarna hitam, maka dipastikan bahwa mayoritas penghuni kota tersebut adalah masyarakat yang mempunyai kesadaran kebersihan yang rendah.

Kasus viralnya berita Sungai Item akhir-akhir ini, telah membangkitkan kembali kesadaran kita betapa kotornya sungai-sungai yang ada di Jakarta. Semua itu dipicu oleh penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta yang direspon oleh pemerintah DKI dengan berbagai usaha untuk menampilkan wajah kota agar tampak lebih bersih dan bermartabat. Mengundang tamu memang bisa menjadi triger yang efektif untuk membersihkan lingkungan dan rumah kita, terutama bagi masyarakat yang masih punya rasa malu kalau dicap sebagai masyarakat yang jorok. Sudah sekian gubernur berganti di Jakarta, sekian Presiden berganti di Indonesia, tetapi fakta menunjukkan bahwa sungai di Jakarta tetap hitam, artinya ada problem yang belum pernah terselesaikan. Oleh karena itu semua usaha yang dilakukan oleh Pemda DKI untuk membersihkan Kali Item dan info terakhir Kementerian PUPR juga akan terlibat di dalamnya, menunjukkan bahwa kesadaran kebersihan itu ada, dan kita semua layak mendukungnya.

Kalau suatu saat  anda jalan-jalan ke negara maju, atau kalau boleh saya ambil  Kota Tokyo sebagai pembanding, anda akan melihat betapapun besar dan masifnya berbagai aktivitas dan kegiatan di Kota Tokyo, dengan gedung-gedung menjulang  tinggi yang jauh lebih rapat dibanding Jakarta, dan  dengan jumlah penduduk sekitar 10-28 juta jiwa, tetapi tidak sampai membuat sungai-sungai di Kota Tokyo menjadi hitam. Sungai-sungainya tetap jernih dan tertata rapi, termasuk sempadan sungainya. Beberapa sempadan sungai di Tokyo bahkan merupakan taman kota, sarana bermain, sarana olahraga publik yang kadang berupa lapangan bola dengan ukuran standard.  Bagi yang tinggal dan pernah tinggal di Jepang pasti tahu bahwa negara Jepang adalah negara yang memanjakan rakyatnya dengan taman-taman kota sebagai fasilitas publik. Banyak taman-taman kota tersebar di sekitar tempat tinggal, dengan fasilitas tempat bermain, tempat berolahraga, dan toilet yang sangat bersih seperti toilet di bandara bahkan sampai kran-kran yang menyediakan air siap minum pun tersedia.

Gambaran kondisi sungai di Tokyo, dengan bantaran sungai yang berfungsi sebagai sarana olahraga, dan Manara SkyTree  yang tampak di belakang  sebagai background (Sumber: koleksi pribadi).

Pada saat saya presentasi di depan para komisioner Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) kurang lebih 2,5 tahun yang lalu, saat merintis pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Tata Lingkungan Industri dan Pemukiman (LSP-TLIP) bersama teman-teman para professional di bidang lingkungan hidup,  saya sampaikan bahwa saat ini di Indonesia telah banyak regulasi tentang lingkungan hidup, perizinan lingkungan pun sangat ketat ditandai dengan banyaknya tahapan (step) yang harus dilalui saat perusahaan/perseorangan akan memulai usaha dengan mengurus dokumen Amdal/UKL-UPL dan sejenisnya. Tetapi fakta di lapangan sungai di Jakarta tetap hitam dan kotor dan kualitas air sungainya melampaui baku mutu lingkungan, artinya ada masalah di situ (Saya sengaja ambil contoh kondisi sungai di Jakarta karena yang paling ekstrim diantara yang  ada, meskipun kondisi di kota lain pun bisa jadi mirip).  Masalahnya adalah karena air limbah yang ada di Jakarta memang saat ini belum tertangani dengan baik. Oleh karena itu akhirnya waktu itu saya usulkan perlunya sertifikasi profesi di bidang limbah termasuk sertifikasi bagi para  operator Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai bagian dari sertifikasi profesi yang akan dikembangkan oleh lembaga yang akan kami kembangkan untuk membantu menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang handal dan tersertifikasi di bidang pengelolaan limbah di Indonesia.


Dengan komposisi  air limbah buangan Jakarta dimana 80% adalah air limbah domestik dan  20% air limbah Industri, sebenarnya kita bisa petakan masalahnya, yang domestik mana dan yang industri yang mana (pendapat terkait komposisi air limbah di Jakarta ini bisa dibaca dari berbagai referensi). Terkait dengan air limbah Industri, perusahaan diwajibkan membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sesuai amanat yang ada pada dokumen Amdal atau UKL-UPL, meskipun ada pekerjaan rumah di sini, karena belum tentu buangan air limbah dari Unit IPAL yang ada di industri memenuhi baku mutu lingkungan. Terkait air limbah domestic, untuk Perkantoran, Hotel, Apartemen dan Rumah Sakit, karena masuk dalam kategori limbah domestic juga mungkin sudah diwajibkan membuat IPAL, meskipun belum tentu juga IPALnya bekerja dengan baik,  tetapi masalah terbesar justru ada pada limbah rumah tangga dari penduduk. Ini sepertinya yang belum tertangani dengan baik.

Pertanyaannya lalu siapa yang harus mengolah air limbah rumah tangga, apakah warga sendiri? Idealnya iya. Kalau setiap rumah membangun IPAL sendiri, maka itu sangat ideal. Terkait limbah rumah tangga, biasanya pemerintah kota membangun IPAL komunal, yang akan mengolah air limbah yang disalurkan dari rumah-rumah seluruh warga kota sebelum dibuang ke badan sungai. Pertanyaannya, apakah di DKI semua air limbah dari rumah-rumah sudah masuk IPAL komunal kota? dan apakah waduk Setia Budi sebagai IPAL kemunal kota sudah menampung seluruh air limbah yang dihasilkan dari rumah tangga dan  menjamin air buangannya ke badan sungai sesuai baku mutu lingkungan?  itu adalah hal-hal yang perlu diklarifikasi.

Nah, terkait permasalahan di atas, mumpung kesadaran kebersihan lingkungan kita sedang tinggi dan agar masalah pencemaran sungai ini tidak menjadi problem yang tidak berkesudahan, ada beberapa hal yang saya usulkan dan mudah-mudahan bisa jadi pertimbangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan:
  1. Pemerintah, terutama pemerintah DKI perlu melakukan audit yang menyeluruh terkait system pengelolaan air limbah di Jakarta, agar dapat diketahui inti permasalahan sebenarnya yang membuat  sungai-sungai di Jakarta menjadi tercemar.
  2. Untuk bisa melakukan audit yang komprehensif, Pemda DKI harus didukung oleh sebuah system pemantauan kualitas air yang real time dan komprehensif yang akan memantau kondisi kualitas air di outlet IPAL dan Badan Air, agar dapat diketahui sebenarnya siapa sumber terbesar pencemaran pada sungai-sungai di Jakarta. Minimal system ini harus diinstall setahun di seluruh kawasan-kawasan potensial sumber air limbah dan badan air penerimanya dalam rangka audit investigasi
  3. Perlu difikirkan untuk membangun IPAL-IPAL Komunal di banyak titik di Jakarta, yang ditujukan untuk mengolah air limbah yang berasal dari limbah rumah tangga, karena dapat dipastikan kalau hanya bertumpu ke Waduk Setiabudi, untuk mengolah air limbah rumah tangga seluruh warga Jakarta, maka akan overload.
  4. Ke depan, model permukiman berbentuk apartemen, mungkin akan membuat pemerintah lebih mudah dalam mengendalikan limbah di kota-kota besar, mengingat Apartemen biasanya sudah memiliki Unit Pengolahan Air Limbah sendiri, tinggal memastikan dan memonitor apakah air buangan dari IPAL yang ada sudah memenuhi baku mutu lingkungan. Ini mungkin salah satu rahasia juga kenapa Jepang sungainya jernih mengingat bangunan tempat tinggal di perkotaan didominasi apartemen.
  5. Ke depan, pemerintah DKI perlu mewajibkan Industri dan semua unit usaha termasuk perkantoran, hotel, rumah sakit, restaurant dan lain-lain untuk memasang system pemantauan kualitas air IPAL sebelum dibuang ke badan sungai. Sistemnya harus bersifat realtime dan datanya langsung dikirim ke data center di Kantor Lingkungan Hidup. Penerapan IT memang menjadi jawaban untuk sebuah transparansi dan akuntabilitas. Salah satu ciri kemajuan Jepang adalah implementasi IT, system control dan robotic di segala bidang, sehingga Jepang menjadi negara yang serba otomatis. Termasuk di bidang lingkungan hidup.
  6. Pemerintah DKI perlu mewajibkan sertifikasi profesi bagi operator IPAL yang ada di perkantoran, hotel, rumah sakit, industry, IPAL komunal dan lain-lain untuk menjamin bahwa operator IPAL yang ada benar-benar seorang professional. Banyak kasus IPAL ada, tetapi kinerjanya tidak maksimal karena operatornya tidak kapabel.
  7. Pilihan teknologi yang tepat menjadi factor krusial dalam menangani air limbah di Jakarta, Untuk IPAL Komunal teknologi anerobik dan aerobic menjadi pilihan yang paling sesuai. Untuk Waduk Setia Budi karena sifatnya terbuka, mungkin system yang paling pas adalah aerobic, bisa juga sebagian dengan system anaerobic dan aerobic jika masih ada lahan untuk pengembangan. Secara aerobik, penggunaan mikroba yang langsung disemprotkan di sungai seperti yang dicoba dilakukan kelompok Kagama DKI Peduli Sampah juga perlu dikaji dan dikembangkan.
  8. Pemerintah DKI perlu mempekerjakan para professional di instansi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Banyak ahli dari lembaga riset dan perguruan tinggi yang pengalamannya segudang bisa diberdayakan untuk memperkuat lini depan squad institusi lingkungan hidup Pemda DKI. Jangan sampai terulang lagi ada statement sungai disemprot dengan pewangi, itu menunjukkan kedangkalan akademis dari seorang birokrat yang tidak perlu dilontarkan. Kalau para birokrat yang ada di pemerintahan tidak memahami persoalan, maka sangat susah untuk bisa membaca state of the art dari permasalahan yang ada, apalagi menguraikannya. Seorang professional ahlipun akan berkerut-kerut keningnya memikirkan sungai Jakarta yang berwarna hitam ini. Tetapi secara fundamental pengetahuan, tentu dia tahu cara mengurainya.
  9. Tidak perlu malu belajar ke negara lain yang lebih maju, yang bisa mengelola air limbah perkotaan dengan lebih baik. Tokyo saya rekomendasikan menjadi rujukan, karena kondisi kotanya yang sangat padat  lebih padat dari Jakarta. Tokyo adalah gambaran Jakarta di masa yang akan datang, sehingga kalau kita belajar ke Tokyo saat ini, kita akan dapat belajar menformat kondisi Jakarta di masa 200 – 300  tahun yang akan datang. Tokyo dan beberapa kota lainnya di negara maju, dulunya juga menghadapi problem pencemaran sungai, tetapi saat ini kondisi mereka jauh lebih baik. Saya bersedia menjadi jembatan komunikasi kalau memang Tokyo menjadi pilihannya.


Demikian tulisan saya pagi ini, mohon maaf jika ada kekurangan dan kata-kata yang kurang pas, dan mari kita berfikir yang positif untuk kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.


Joko Widodo (@jecko_74)

Penulis adalah:
  • Mahasiswa Program Doktor (S3) pada Graduate School of Advanced Integration Science, Chiba University, Jepang
  • Perekayasa Bidang Ilmu Kebumian dan Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) -Jakarta, Indonesia.
  • Penggagas dan salah satu perintis Lembaga Sertifikasi Profesi Tata Lingkungan Industri dan Permukiman
  • Saat ini tinggal di Jepang


No comments: