Di atas Kereta Tsukuba Express pagi ini dalam perjalanan dari Tsukuba ke Chiba yang menjadi rutinitas harian saya, saya akan mencoba menuliskan uneg-uneg saya terkait Implementasi Sistem Deteksi Dini Tsunami di Indonesia selama ini, dari apa yang pernah saya lakukan, saya dengar, dan saya lihat.
Pada
saat Tsunami Aceh terjadi tahun 2004, waktu itu publik berteriak tentang perlunya
kita mempunyai sistem deteksi tsunami di Indonesia. Saat itu beberapa pakar juga berpendapat perlunya Indonesia memiliki sistem deteksi dini tsunami. Yang
konyol dari peristiwa ini adalah, karena sebenarnya kita sudah punya sistem deteksi
tsunami yang mulai beroperasi sejak tahun 1996, yang bernama Seawatch Indonesia
yang bekerjasama dengan OCEANOR, Norwegia. Jejak digitalnya masih bisa dilihat
di sini (http://seawatch.50megs.com). Karir saya
bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta bahkan saya mulai dari sini,
sebagai staf ‘ Data Management and Forecasting’ Seawatch Indonesia, setelah
sebelumnya saya bergabung dan melakukan riset dengan data-data Seawatch
Indonesia. Riset ini yang kemudian mengantarkan saya meraih gelar sarjana dari
Fakultas Geografi UGM.
Sistem
Seawatch Indonesia bahkan tidak hanya mampu melakukan deteksi tsunami (tinggi gelombang
laut), tetapi mampu mengukur parameter kualitas air laut untuk mengetahui
tingkat pencemaran dan kesesuaian untuk budidaya perikanan di laut. Sistem ini
selama perjalanan operasinya dari Tahun 1996 – 2000-an telah melakukan deploy
buoy (sensor) di laut sebanyak 12 sensor, diantaranya di Teluk Jakarta, Selat
Malaka, Perairan Masalembo dan lain sebagainya. Targetnya akan dilakukan
pemasangan buoy sebanyak 50 buah. Apa
daya krisis moneter melanda Indonesia mulai tahun 1998, dan akhirnya program
ini dihentikan.
Setelah
itu kemudian Tsunami Aceh terjadi pada tanggal 26 Desember Tahun 2004. Teriakan
publik bahwa kita memerlukan Sistem Deteksi Dini Tsunami direspon pemerintah
dengan dihidupkannya kembali sistem ini. Dikenal dengan Program Indonesia
Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS). Beberapa material menggunakan material
dari Program Seawatch Indonesia, dan
disempurnakan lagi dengan system yang dikembangkan oleh para engineer di BPPT. Sistem
ini berjalan baik, tetapi menghadapi kasus yang hampir mirip dengan Seawatch
Indonesia. Sensor buoy-nya sering dicuri oleh orang tidak bertanggung jawab. Pernah suatu ketika
Sistem Buoy Seawatch Indonesia terdeteksi bergeser posisinya, yang kemudian
dikejar oleh Tim Buoy Maintenance (Tim Pemeliharaan Buoy), dan akhirnya
posisinya terdeteksi berada di daratan, dan setelah dicek ke lapangan,
posisinya digantung di pepohonan oleh nelayan. Entah apa maksudnya buoy
tersebut diambil, padahal harga sistemnya milyaran untuk satu sensor. Tidak
sebanding dengan harga besinya seandainya dikilokan. Peristiwa ini terjadi
tahun 96-2000-an. Dan mengacu pada berita yang saya baca dari berbagai media terkait
pernyataan Menteri Koordinator Maritim bahwa Sistem Buoy BMKG yang berada di
perairan Palu dicuri, menandakan bahwa tabiat masyarakat kita belum berubah,
meskipun sudah melihat fakta dahsyatnya Tsunami
Aceh, Tahun 2004.
Saya
tidak tahu apa yang kemudian terjadi dengan program Ina-TEWS karena saya tidak terlibat di dalamnya, tetapi yang saya
dengar statement dari Dr. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Informasi BNPB
(Senior saya di Geografi UGM sekaligus BPPT), ternyata program ini juga telah
berakhir pada tahun 2012. Artinya saat ini kita tidak memiliki lagi Sistem
Deteksi Dini Tsunami, karena Ina-TEWS telah berhenti beroperasi Tahun 2012, dan
Buoy BMKG juga tidak beroperasi dengan alasan hilang dicuri orang. Saya yakin
seperti halnya paska Tsunami Aceh 2004, maka Paska Tsunami Palu Tahun 2018 ini,
kita akan kembali tergopoh-gopoh untuk menghidupkan kembali Sistem Deteksi Dini
Tsunami, yang sebelumnya pernah ada. Menjadi ironi memang, kita sudah investasi
untuk mengembangkan sebuah system yang mahal dan berjalan dengan baik, tetapi
menjadi tidak berfungsi pada saatnya diperlukan, akibat terhentinya program.
Ini
adalah pembelajaran agar kita lebih konsisten dalam mengimplementasikan
teknologi sistem deteksi dini Tsunami di Indonesia ini. Tsunami akan terus
mengancam Indonesia, karena kita berada di zona ring of fire. Kita juga harus
memikirkan teknologi deteksi dini tsunami yang baru, yang cocok untuk Indonesia
dengan tingginya tingkat vandalisme yang ada. Fakta bahwa pencurian buoy yang
terjadi sejak Program Seawatch Indonesia, tahun 1996, masih terjadi saat ini
dengan bukti hilangnya Buoy milik BMKG Tahun 2018, menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat
Indonesia belum berubah setelah sekian puluh tahun. Namun demikian, karena
kereta saya segera akan merapat sampai tujuan di Stasiun Nishi-Chiba, maka
usulan saya terkait teknologi baru system deteksi tsunami tersebut, akan saya
sampaikan dalam kesempatan yang lain. Sekian, mohon maaf jika ada kekurangan
atau kesalahan.
Joko
Widodo
Department of
Information Science
Graduate School of
Advance Integration Science
Chiba University,
JAPAN
No comments:
Post a Comment