..

..

Whois Online?

Tuesday, October 2, 2018

Pasang Surut Implementasi Sistem Deteksi Dini Tsunami di Indonesia




Di atas Kereta Tsukuba Express pagi ini dalam perjalanan dari Tsukuba ke Chiba yang menjadi rutinitas harian saya, saya akan mencoba menuliskan uneg-uneg saya terkait Implementasi Sistem Deteksi Dini Tsunami di Indonesia selama ini, dari apa yang pernah saya lakukan, saya dengar, dan saya lihat.

Pada saat Tsunami Aceh terjadi tahun 2004, waktu itu publik berteriak tentang perlunya kita mempunyai sistem deteksi tsunami di Indonesia. Saat itu beberapa pakar juga berpendapat perlunya Indonesia memiliki sistem deteksi dini tsunami. Yang konyol dari peristiwa ini adalah, karena sebenarnya kita sudah punya sistem deteksi tsunami yang mulai beroperasi sejak tahun 1996, yang bernama Seawatch Indonesia yang bekerjasama dengan OCEANOR, Norwegia. Jejak digitalnya masih bisa dilihat di sini  (http://seawatch.50megs.com). Karir saya bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi  (BPPT) Jakarta bahkan saya mulai dari sini, sebagai staf ‘ Data Management and Forecasting’ Seawatch Indonesia, setelah sebelumnya saya bergabung dan melakukan riset dengan data-data Seawatch Indonesia. Riset ini yang kemudian mengantarkan saya meraih gelar sarjana dari Fakultas Geografi UGM.




Sistem Seawatch Indonesia bahkan tidak hanya mampu melakukan deteksi tsunami (tinggi gelombang laut), tetapi mampu mengukur parameter kualitas air laut untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kesesuaian untuk budidaya perikanan di laut. Sistem ini selama perjalanan operasinya dari Tahun 1996 – 2000-an telah melakukan deploy buoy (sensor) di laut sebanyak 12 sensor, diantaranya di Teluk Jakarta, Selat Malaka, Perairan Masalembo dan lain sebagainya. Targetnya akan dilakukan pemasangan buoy sebanyak  50 buah. Apa daya krisis moneter melanda Indonesia mulai tahun 1998, dan akhirnya program ini dihentikan.

Setelah itu kemudian Tsunami Aceh terjadi pada tanggal 26 Desember Tahun 2004. Teriakan publik bahwa kita memerlukan Sistem Deteksi Dini Tsunami direspon pemerintah dengan dihidupkannya kembali sistem ini. Dikenal dengan Program Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS). Beberapa material menggunakan material  dari Program Seawatch Indonesia, dan disempurnakan lagi dengan system yang dikembangkan oleh para engineer di BPPT. Sistem ini berjalan baik, tetapi menghadapi kasus yang hampir mirip dengan Seawatch Indonesia. Sensor buoy-nya sering dicuri oleh orang tidak bertanggung jawab. Pernah suatu ketika Sistem Buoy Seawatch Indonesia terdeteksi bergeser posisinya, yang kemudian dikejar oleh Tim Buoy Maintenance (Tim Pemeliharaan Buoy), dan akhirnya posisinya terdeteksi berada di daratan, dan setelah dicek ke lapangan, posisinya digantung di pepohonan oleh nelayan. Entah apa maksudnya buoy tersebut diambil, padahal harga sistemnya milyaran untuk satu sensor. Tidak sebanding dengan harga besinya seandainya dikilokan. Peristiwa ini terjadi tahun 96-2000-an. Dan mengacu pada berita yang saya baca dari berbagai media terkait pernyataan Menteri Koordinator Maritim bahwa Sistem Buoy BMKG yang berada di perairan Palu dicuri, menandakan bahwa tabiat masyarakat kita belum berubah, meskipun sudah melihat fakta dahsyatnya Tsunami  Aceh, Tahun 2004.

Saya tidak tahu apa yang kemudian terjadi dengan program Ina-TEWS karena saya tidak terlibat di dalamnya, tetapi yang saya dengar statement dari Dr. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Informasi BNPB (Senior saya di Geografi UGM sekaligus BPPT), ternyata program ini juga telah berakhir pada tahun 2012. Artinya saat ini kita tidak memiliki lagi Sistem Deteksi Dini Tsunami, karena Ina-TEWS telah berhenti beroperasi Tahun 2012, dan Buoy BMKG juga tidak beroperasi dengan alasan hilang dicuri orang. Saya yakin seperti halnya paska Tsunami Aceh 2004, maka Paska Tsunami Palu Tahun 2018 ini, kita akan kembali tergopoh-gopoh untuk menghidupkan kembali Sistem Deteksi Dini Tsunami, yang sebelumnya pernah ada. Menjadi ironi memang, kita sudah investasi untuk mengembangkan sebuah system yang mahal dan berjalan dengan baik, tetapi menjadi tidak berfungsi pada saatnya diperlukan, akibat terhentinya program.

Ini adalah pembelajaran agar kita lebih konsisten dalam mengimplementasikan teknologi sistem deteksi dini Tsunami di Indonesia ini. Tsunami akan terus mengancam Indonesia, karena kita berada di zona ring of fire. Kita juga harus memikirkan teknologi deteksi dini tsunami yang baru, yang cocok untuk Indonesia dengan tingginya tingkat vandalisme yang ada. Fakta bahwa pencurian buoy yang terjadi sejak Program Seawatch Indonesia, tahun 1996, masih terjadi saat ini dengan bukti hilangnya Buoy milik BMKG Tahun 2018, menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia belum berubah setelah sekian puluh tahun. Namun demikian, karena kereta saya segera akan merapat sampai tujuan di Stasiun Nishi-Chiba, maka usulan saya terkait teknologi baru system deteksi tsunami tersebut, akan saya sampaikan dalam kesempatan yang lain. Sekian, mohon maaf jika ada kekurangan atau kesalahan.



Joko Widodo

Department of Information Science
Graduate School of Advance Integration Science
Chiba University, JAPAN

No comments: