..

..

Whois Online?

Friday, October 5, 2018

SUB MARINE CABLE-BASED SYSTEM, Solusi Tepat Untuk Sistem Deteksi Dini Tsunami di Indonesia.

DONET System (Source: www.bosai.go.jp)
Tulisan ini adalah tulisan lanjutan terkait System Deteksi Dini Tsunami di Indonesia. Sesuai janji saya sebelumnya, saya akan mengusulkan sebuah teknologi yang lebih tepat dibandingkan dengan system buoy Tsunami sebagai sistem deteksi dini Tsunami di Indonesia. Teknologi ini berbasis kabel bawah laut, yang diharapkan lebih reliabel dan tahan terhadap aksi vandalisme.

Jepang sudah mengawali teknologi ini kira-kira tahun 2006, dikenal dengan nama DONET (Dense Oceanfloor Network System for Earthquakes and Tsunamis), dan teknologi ini dikembangkan oleh JAMSTEC (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology). Mungkin teman-teman yang pernah berkunjung ke JAMSTEC tahun 2013 bareng saya, ingat teknologi ini. Dalam perjalanannya, otoritas dan fungsi JAMSTEC dalam melakukan monitoring gempa dan tsunami kemudian dipindahkan ke NIED (National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience). Sehingga saat ini posisi DONET di bawah kendali NIED. Beberapa peneliti dan engineer JAMSTEC juga akhirnya migrasi ke NIED akibat perubahan kebijakan ini. NIED sendiri bersama Japan Meteorological Agency (JMA) mengembangkan S-NET (Seafloor observation network for earthquakes and tsunamis along the Japan Trench) pada Tahun 2011. Keduanya baik DONET maupun S-NET konsepnya sama, hanya ada perbedaan sedikit secara teknis, dan S-NET lebih ditujukan untuk riset di patahan laut dalam yang ada di Jepang (Japan Trench).




S-NET (www.bosai.go.jp)

Dalam perjalannya Jepang sekarang telah memiliki sensor bawah laut sekitar 500 buah, dari keseluruhan sensor sekitar 2500-3000-an sensor gempa dan tsunami yang dimilikinya. Setelah Jepang sukses mengembangkan teknologi ini, kemudian teknologi ini diadopsi oleh Taiwan. Taiwan mengembangkan teknologi ini sedikit demi sedikit, sampai saat ini seluruh perairan Taiwan sudah tercover dengan system ini. Indonesia sepertinya harus mengikuti jejak Taiwan yang sudah lebih dahulu mengadobsi teknologi ini. Teknologi ini diyakini akan lebih aman dibandingkan teknologi buoy system yang sebelumnya pernah diterapkan oleh Indonesia, tetapi rentan aksi vandalisme. Teknologi ini juga akan sangat akurat mendeteksi longsoran bawah laut, seperti halnya yang terjadi di Palu, yang akhirnya memicu gelombang Tsunami. Fenomena longsoran bawah laut ini adalah sebuah fenomena yang tidak bisa terdeteksi oleh jaringan seismograf dan GPS yang ada di darat.

Kurang lebih tiga bulan terakhir, saya menjalin komunikasi dengan NEC, Tokyo Jepang untuk mencoba mempelajari kemungkinan teknologi ini bisa diadobsi oleh Indonesia. Paska Tsunami Palu membuat saya semakin yakin untuk terus berkomunikasi dengan mereka. NEC adalah provider dari teknologi ini baik DONET maupun S-NET. Merekalah yang melakukan pendampingan teknologi untuk NIED dan JMA sampai saat ini. Operasional system teknologi ini di Indonesia kelak, semaksimal mungkin harus bisa memanfaatkan jaringan kabel bawah laut Indonesia yang telah ada, mengingat mahalnya investasi seandainya harus menggelar kabel bawah laut sendiri.

Ada satu hal yang ingin saya sampaikan, bahwa kemajuan teknologi Jepang sebenarnya ditopang oleh pihak swasta yang aktif melakukan inovasi teknologi. NEC adalah salah satu contoh perusahaan raksasa Jepang yang berada di balik kemajuan teknologi monitoring tsunami berbasis kabel bawah laut ini. Di bidang teknologi Satelit Synthetic Aperture Radar ALOS yang dimiliki oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency), ada perusahaan Mitsubishi yang menopang penuh Jepang dalam pengembangan dan fabrikasi satelit SAR. Di Indonesia mungkin tidak banyak perusahaan swasta yang concern terhadap inovasi teknologi, tetapi setidaknya kita bisa langsung belajar dari perusahaan-perusahaan Jepang.

Hari Kamis, 4 Oktober 2018 kemarin, saya berkunjung ke NEC diterima oleh Mr. Tokioka dan kawan-kawan, dan ini adalah untuk kesekian kalinya saya bertemu mereka. Dari sini saya belajar mengenai teknologi deteksi dini gempa dan tsunami berbasis kabel bawah laut langsung dari dapur teknologinya Jepang, dan mempelajari berbagai kemungkinannya untuk diterapkan di Indonesia.

Foto saya, saat berkunjung ke Kantor NEC di Tokyo (Source: Private Collection)

Hari ini, big bos saya di Jakarta juga sudah mengeluarkan statement tentang perlunya Indonesia mengembangkan Cabel-Based Tsunamimeter. Semoga konsolidasi yang saya lakukan beberapa bulan terakhir di Jepang ini nyambung dengan Jakarta, mengingat saya selalu menyampaikan report ke Jakarta. NEC sendiri siap untuk mensupport Indonesia dalam mengembangkan teknologi ini.


Joko Widodo,

Ph.D. Student, Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Graduate School of Advanced Integration Science, Chiba University, Japan


* Saat ini tinggal di Tsukuba, Jepang


No comments: